TANGERANGNEWS.CO.ID | Seiring dengan diterapkannya Politik Etis dan meningkatnya pendidikan bagi kaum pribumi, Indonesia menyaksikan munculnya semangat kebangsaan baru. Semangat ini, yang tumbuh dari cita-cita bangsa terjajah, menjadi katalisator lahirnya tokoh-tokoh pers yang memperjuangkan nasionalisme. Di antara mereka, nama Marco Kartodikromo, atau dikenal sebagai “Mas Marco,” bersinar terang dalam sejarah jurnalisme Indonesia.

Tony Firman, dalam skripsinya di Universitas Brawijaya berjudul “Marco Kartodikromo: Tokoh Jurnalis Zaman Pergerakan dari Blora,” menggambarkan kiprah Marco sebagai sosok sentral yang memberi warna pada berbagai surat kabar pribumi seperti Doenia Bergerak, Sarotomo, dan Sinar Hindia. Tulisannya yang tajam dan berani, sering menggunakan bahasa Melayu Rendahan, berhasil menggugah semangat perlawanan sambil membuat pemerintah kolonial geram.

Marco tak hanya dikenal dengan tulisan-tulisannya, tetapi juga dengan perannya sebagai pendiri organisasi jurnalis pribumi pertama, Inlandsche Journalisten Bond (IJB) di Surakarta pada 1914. Organisasi ini menjadi wadah bagi jurnalis pribumi untuk menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap pemerintah Belanda.

Inspirasi Marco banyak berasal dari dua tokoh besar, Soewardi Soeryaningrat dan Tirto Adhi Soerjo, yang turut membentuk visi dan keberaniannya. Marco mengikuti jejak Tirto dengan mendirikan surat kabar Doenia Bergerak, menjadikannya platform untuk menyuarakan perlawanan dan menyebarkan narasi kebangkitan nasional.

Namun, keberanian Marco dalam menulis membawa konsekuensi berat. Pada 1914, ia terjerat kasus persdelict setelah menolak mengungkap identitas penulis anonim yang mengkritik pemerintah Belanda. Meski dipenjara, semangatnya tak pernah padam. Dari balik jeruji, Marco melanjutkan karyanya, termasuk roman “Mata Gelap.”

Karya dan perjuangan Marco terus menggema hingga tahun 1926, memicu lahirnya organisasi-organisasi politik yang memperjuangkan kemerdekaan. Namun, pada 1927, pemerintah kolonial menganggap pergerakan Marco membahayakan stabilitas politik, mengasingkannya ke Boven Digoel.

Di pengasingan, Marco tetap teguh hingga akhir hayatnya pada 19 Maret 1932. Meski telah tiada, pusaranya di Tanah Tinggi, Boven Digoel, tetap terjaga sebagai simbol perjuangannya.

Hari ini, Marco Kartodikromo dikenang sebagai sosok penting dalam sejarah pers nasional, meninggalkan warisan keberanian dan semangat perlawanan yang terus menginspirasi generasi penerus jurnalis Indonesia.(PW)