TANGERANGNEWS.CO.ID, Jakarta | Kebijakan pemangkasan anggaran sebesar Rp8 triliun pada sektor pendidikan dasar dan menengah memicu kekhawatiran di kalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Dengan anggaran yang turun dari Rp33,5 triliun menjadi Rp25,5 triliun, pertanyaan besar muncul mengenai nasib guru honorer dan kelanjutan program pembangunan sekolah.

Pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, mengkritik langkah efisiensi ini sebagai kebijakan yang kurang tepat, terutama saat masalah sertifikasi guru, kesejahteraan, dan distribusi sekolah masih menjadi tantangan besar. “Mestinya anggaran ditambah,” ujarnya kepada awak media.

Meski demikian, Mendiksamen Abdul Mu’ti berusaha meredakan kekhawatiran dengan menyatakan bahwa program strategis seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan tunjangan sertifikasi guru akan tetap berjalan sesuai rencana. Ia menegaskan bahwa pengurangan anggaran akan difokuskan pada elemen seperti acara seremonial, perjalanan dinas, dan pengadaan barang percetakan.

“Pada prinsipnya kami setuju keputusan itu, dan kami berusaha agar pengurangan anggaran tidak mengurangi layanan kepada masyarakat,” jelas Abdul Mu’ti.

Namun, kekhawatiran tetap ada, terutama mengenai dampaknya pada guru honorer yang kesejahteraannya sering kali terabaikan. Selain itu, pemangkasan ini dapat memperlambat pembangunan dan renovasi sekolah di daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan yang memadai.

Para pengamat menilai bahwa langkah ini bisa berisiko jika tidak diimbangi dengan kebijakan strategis untuk memastikan kualitas pendidikan tidak menurun. Masa depan pendidikan Indonesia bergantung pada bagaimana pemerintah menavigasi tantangan ini.(PW)